Selasa, 22 November 2016

Lebih Baik Berhenti daripada Memaksakan

Pernahkan engkau mendengar tentang cinta sepihak atau cinta bertebuk sebelah tangan? Dua dari keadaan tersebut berbeda namun hampir sama. Intinya sama-sama sebuah cinta yang tak bisa berbalas. Ini tentang hati, tentang perasaan, tentang cinta.. cinta yang sempat kau sebut sebagai anugrah Tuhan, ya memang benar adanya. Cinta yang tumbuh dari dalam hati yang tulus tanpa memandang apa mengapa dan karena apa. Cinta yang tak beralasan itulah yang disebut cinta sesungguhnya. Namun cinta tak selalu mampu menyatukan dua hati. Ada cinta yang tak terbalas. Semua akan baik-baik saja jika dalam apapun itu berjalan bersama, sederhananya jika kau menambahkan kata “saling” padanya. “mereka adalah pasangan yang saling mencintai” ungkapan ini apakah mampu kau sebut relationship goal?

Siapapun pasti pernah mengalami jatuh cinta, bukan hanya di usia muda namun orang matang pun tahu dan berhak merasakannya. Seseorang yang jatuh cinta biasanya ia mendadak gila. Bahkan cinta mampu merubah seseorang menjadi orang lain maksudnya tidak seperti jati dirinya sendiri. Namun apa yang terjadi jika cinta tak berbalas? Bukan hanya hati yang sakit namun pikiranmu saja sudah tak karuhan. Mungkin inilah yang bisa kau sebut dengan “patah hati” dimana ketika cinta yang kamu miliki untuk orang lain itu tak mampu diterima karena ia tidak memiliki perasaan yang sama, ia tidak memiliki cinta yang sama seperti yang kamu miliki untuknya. Patah hati, terlalu sakit dirasakan namun tidak berdarah.

Tiada yang bisa kau salahkan, bukan karena cinta yang salah. Cinta bukan sebagaimana harus memiliki, namun cinta itu mengikhlaskan. Cinta tidak seharusnya memaksakan, karena semakin engkau menggali lebih dalam semakin dalam pula luka dihatimu. Sesuatu yang dipaksakan tak akan berjalan  mulus seperti harapan semestinya, justru akan melukai diri sendiri. Siapa saja yang patah hati akan cinta yang tak terbalas berhentilah daripada memaksakan, bukan berarti menyerah dalam perjuangan bukan pula pasrah sebelum berjuang, namun cinta itu perlu mengikhlaskan. Semua akan indah pada waktunya masing-masing, disaat waktu yang tepat. 

Rabu, 02 November 2016

Menanti

Hari ini begitu gelap dalam benakku, matahari yang bersinar terang kemudian meredup seketika. Awan hitam mulai mengikis cahayaku. Entah sudah berapa lama aku duduk termenung menyaksikan orang berlalu lalang tanpa tujuan. Aku pun tak paham apa yang aku tunggu dan apa yang aku nanti. Kemudian siapa yang akan datang dan kembali pulang saja sama sekali tak terfikirkan dalam benakku, tapi sayangnya aku benar-benar masih mengingat satu wajah. Aku ingin dia datang dalam hidup nyataku bukan hanya sekedar mimpi dan angan-angan.
“Aku menunggumu, disini aku menantimu..” Kesabaranku selalu terombang-ambing teruji, dan entah sampai kapan aku mampu bertahan atau aku akan berhenti hingga menyerah. Waktu mengikis menggerogoti harapan namun keyakinan serta perasaan justru menggali lebih dalam. Aku terlalu bodoh untuk menunggu.. karena dia sungguh tak akan datang seperti yang selalu diharapkan. Aku terlalu bodoh untuk menanti.. bahkan dia membalas sepucuk suratku saja tak pernah apalagi melontarkan senyum dihadapan. Aku terlalu bodoh untuk berharap.. karena dia tak pernah mengharapkan keberadaanku.
Pengharapanku terlalu tinggi untuk bisa melihatnya hari ini, beberapa kali ku lirik jam tangan memandangi jarum berputar detik demi detik, tapi dia pun tak kunjung ku temukan. Aku memang bodoh hingga aku lupa sudah berapa tahun lamanya ku habiskan hanya untuk menanti. Kegiatan yang membosankan menunggu yang tak kunjung datang hingga musim berganti.
Aku sudah sangat lelah seperti berada pada ujung daun yang tak tahu arah. Aku sudah mulai layu menunggu sinar kembali. Sepertinya sudah saatnya aku menyerah dan pasrah. Aku sudah letih melewati semua ini tapi,  ternyata Tuhan memberikan jalan lain, aku selalu diberi kesabaran lebih seakan tak pernah habis. Ketika logika meminta untuk berhenti namun hatiku menolak untuk menyerah. Ketika langkahku mulai berjalan mundur namun pikiranku justru mendorong maju. Pada akhirnya aku masih disini menunggunya, entah sampai kapan aku harus berhenti.